Keren-nya orang itu ada yang bikin kita down, ada yang bikin kita bangun dari mimpi. Ada yg bikin kita ngerasa ga bisa berbuat apa-apa. Ada yang bikin kita ngerasa punya kesempatan berbuat apa-apa.
Kenapa ? kok bisa ?
Jadi gini,
Beberapa hari yang lalu saya mendapati ‘kabar bahagia’ dari ketiga teman saya yang berhasil menyumbangkan temuan ilmiah dari bidangnya, dan itu merupakan kebanggaan bersama. Harusnya, saya bergembira dengan ‘kabar bahagia’ itu. Karena mereka teman-teman saya, mereka pintar dan cerdas. Terlebih, mereka memang mengusahakannya. Semua itu seharusnya menjadi kebanggaan dan berhak diberikan pujian atau setidaknya selamat. Namun sepertinya ada kenaifan dalam diri. Saat itu rasanya seakan-akan kalah. Kalah dari medan juang yang sama. Kalah dan terpecundangi atas apa apa yang telah berlalu. Merutuki, kenapa dan kenapa. Kenapa dia bisa dan aku tidak. Kenapa dia mampu dan aku tidak. Kenapa orangnya dia dan bukan aku. Padahal, kalau orang lain yang mendapatkannya mungkin aku biasa saja. Apa karena dia sudah berada dekat dengan circle ku hingga rasanya aku merasa tercurangi dengan apa yang dia dapat lakukan sedangkan aku tidak ? sehingga tingkatnya bukan lagi mengapresiasi, tapi membuat down. Seakan akan sahabat terdekat kita sendiri menang atas sesuatu, dibandingkan kita.. tapiii, bukan.. sungguh aku rasa bukan keirian seperti irinya anak sd terhadap ranking orang lain. Sungguh aku telah merasa selesai dengan keirian dan dengki semacam itu. Bahkan dengan orang terdekatku pun, rasanya tidak ada yang perlu kudengkikan, karena sebenarnya aku merasa jauh lebih beruntung. Seperti konsep konaah yang selama ini kita pegang. Atas apa-apa yang datang, semuanya pasti dari Allah. Dan semua yang dari Allah pasti baik. Pun yang Allah tahan untuk kita. Kita beriman, kita beruntung. Entah beruntung mendapatkan sesuatu, mendapatkan yang lain, atau tidak mendapatkannya. Tapi ini.. lebih dari keirian macam itu. entah, suatu kesadaran yang lebih mendasar sebenarnya, tentang.. berlomba di hadapan Allah.
Jadi, salah satu diantaranya adalah seorang pemuda, yang bergerak. Tergabung dalam barisan dakwah yang sama denganku. Kita punya kesibukan yang sama, tanggung jawab yang sama. Selain tanggung jawab akademik, ada juga tanggungjawab atas kesadaran berislam, dakwah. Kami punya waktu yang sama, 24 jam. Kami punya medan yang sama, kampus tercinta. Kami punya tujuan yang sama, kejayaan islam dan surga. Kami sama-sama paham bahwa segudang aktifitas dan pemikiran dakwah meminta waktu kita. Suatu ketika dia pernah berkata, bahwa tanggungjawab ini memang berat tapi bukan berarti ini semua menjadi alasan kita utnuk lepas dari tanggungjawab yang lain. Dan dia membuktikannya. Dia berprestasi di bidangnya. Terlebih, sepertinya dia seimbang pada apa-apa yang memang perlu diseimbangkan, antara perannya sebagai mahasiswa, perannya sebagai dai, perannya sebagai hamba. Dia ‘terlihat’ selesai dengan dirinya sendiri dan siap berdakwah. Kekerenan semacam ini membuatku semakin.. ahhh patah. Aku pingin jugaaa :(((( aku kenapa gabisa.. dan aku lemah heuheuheuheuhueuehuheuhehu. Meskipun di sisi lain, pasti ada lah kekurangan yg dia punya. Pasti ada hal yg dia masih belum bisa handlenya, dan mugnkin satu dua ditampakkan padaku. Tapi diluar itu semua, atas kelebihan yang Allah tampakkan padanya, sudah cukup membuatku mengerti bahwa islam itu seimbang. He is the real role model and me too, harusnya. Wkwkwk
Aku gaperlu meng elu elu kan kelebihan yang dia punya, karena berlebihan itu ga baik, karena dia pasti ada kurangnya, karena sebenarnya bukan itu tujuan Allah menunjukkan kekerannya padaku, bukan untuk kasih liat bahwa dia keren, tapi untuk menjadi pembelajaran, yg bener tu gini loh cii, kamu bisa gini loh cii, kamu bisa berdakwah dengan cara ini.. lihat, dia itu lagi syiar!! dia lagi menyiarkan kebaikan.. dia lagi menjadi contoh bahwa muslim itu berprestasi. Muslim itu perlu pintar, kalo bisa pro di bidangnya. Dan dia menunjukkan, kalo ilmu itu gaakan jauh-jauh dari quran. Orang yg deket sama quran bakal dimuliakan. Ahh, menampar berkali-kali. Dan yang berilmu itu dinaikin derajatnya sama Allah, dibedain sama Allah dari orang yg ga berilmu! Belajar itu bentuk ketaqwaan, prestasi itu syiarnya! Orang-orang kaya gini deket banger sama Allah.. masyaAllah :”
Dan lebih jlebnya lagi adalah, selama ini kamu kemana ? selama ini kamu jadiin dakwah itu pelampiasan atas kejenuhanmu ngejalanin tanggung jawab belajar yang terpaksa itu ? kamu belum nemu kan nikmatnya belajar ? belum tau kan kalo belajar tu cara kamu deket sama Allah. Kamu masih jenuh sama ilmu yang lagi kamu dalami, padahal sebenernya, itu alat menggenggam dunia. Alat untuk berdakwah. Kamu sedih kan ? seakan-akan kamu melepaskan kesempatan untuk berdakwah dengan lebih manjur lagi, dakwah dengan akademik dan prestasimu. Iya itu kan yang bikin kamu down, itu yg bikin kamu kecewa sama diri sendiri. Kamu ga memaksimalkan kesempatan itu.. Allah kasih ilmu itu, ke dia. Kamu minta ga ke Allah buat dipahamkan ?
Hhhh
Then, semua ini membuatku malu untuk sekedar menghubungi dia. Malu untuk membahas hal remeh temeh. Merasa bentuk ikhtiarku tidak sungguh-sungguh. Tidak sepenuh hati. Tidak untukMu ya Allah, astaghfirullah.. tidak maksimal dan menjadikan belajar sebagai caraku, ikhtiarku padaMu Ya Allah..
Maafkan aku ya Allah.. maaf..
Lalu dalam keterperosokan hati itu, aku mencoba berdamai. Karena tidak mungkin akan tenang dalam perasaan seperti ini. Perlu diredam, diarahkan ke kesimpulan yang baik, penerimaan yang baik. Lewat diskusi dengan orang yang kupercaya, akhirnya.. cukup melegakan. Melegakan, menyadari bahwa hati ini perlu menerima.
Pertama, merasa down itu wajar. Iri wajar. Yang salah adalah ketika apa yang orang miliki itu membuat kita menginginkan agar apa yang dia miliki itu hilang darinya. Bukan kan, bukan itu kan yang kita rasakan. Kita hanya tertegur dengan pencapaian orang lain yang sebenarnya mungkin bisa kita capai juga dengan sungguh-sungguh. Terimalah dengan kesadaran. Bahwa kita memang mempunyai kesempatan yang sama, tapi kita punya cara yang berbeda-beda. Bersyukurlah karena saudaramu telah mengharumkan nama islam dengan prestasinya. Itu seharusnya membuatmu terpacu untuk ikut berkarya. Berarti kamupun bisa. Kita memang tidak akan mencapai apa-apa yang dia capai, karena mungkin memang bukan jalannya seperti itu. Kita akan bersinar dengan cara kita, dengan keleibhan dan kekurangan kita.
Semua ini dalah peringatan bahwa ada yang kurang maksimal dari apa yang telah kita lakukan,dan kita perlu negevaluasinya. Sudah. Tidak perlu berlarut. Lanjut lagi. Dia berprestasi, bukan berarti kamu tidak mampu. Kamu pun mampu. Masih ada slot lain, ayoo ayoo. Dan kesadaran ini baik.. jangan disia siakan. Hawa nafsu ini jadi dorongan untuk kita lebih berprestasi lagi. Bukan hanya ingin, tapi juga ajak diri untuk merealisasikannya.
Tenang, kenali diri lebih dalam lagi, kelola sisi plus dan minus, push, fokus sama diri.
Ciri orang berilmu adalah semakin takut pada Allah.. pemahaman itu di dalam hati, bukan dalam benak.
Ya Allah, anugerahkanlah ilmu padaku untuk menjadi iman padaMu..
Hasan Al Bashri meminta pada Allah, berdoa. Meminta kepada Rabb yang menggenggam hati manusia. Ya Allah, pasti Engkau dah tau isi hati aku.. aku pengen kaya diaa. Dia keren, dia deket sama Allah, kek enak banget urusannya lancar. Deket sama quran :” aku pengen Ya Allah aku pengennn
Ya Allah, jangan wafatkan saya sampai dijamin surga untuk saya Ya Allah..
Abdullah bin umar
Modal kita itu doa.. yakin..
Alhamdulillah ya, punya lingkungan yang baik.. meng-clear-kan perasaan2 dan pemahaman yang belum utuh.
Dan.. hawa nafsu itu kita alihkan utnuk mencegah. Mencegah kita dari dia awkawakkw.
Entahlah kenapa, tapi aku sedikit lebih segan dan menarik diri dari orang2 berilmu. Mungkin karena kau takut dianggap terlalu bodoh. Tidak nyambung dan tidak mengerti. Aku tidak ingin terlalu dekat rasanya, aku.. segan dan sungkan. Nah itu. Ini pada teman ya maksdunya. Bukan ustad/orang berilmu yang ilmiah gitu. Dan rasa segan itu cukup utnuk membuatku menahan diri darinya, tidak meremehkannya, tidak membahas hal-hal yang tidak penting dengannya, tidak mempermalukan diri sediri dengan cara membahas hal-hal yang tidak penting baginya, tidak perlu banyak diskusi yang remeh temeh, itu semua menunjukkan bahwa ilmuku dangkal sekali. Tidak perlu bersikap sok lebih tau dan terlalu terbuka, seperti yang selama ini kamu lakukan. Intinya, lebih berhati-hati. Karena sekali lagi, Allah tunjukkan bahwa dia berpikir. Dia yang berdiskusi denganmu tiu menilai, menangkap dan menyimpulkan. Maka, bertemanlah secukupnya. He3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar