Ketidaktahuan terkadang lebih menenangkan daripada mengetahui sesuatu
atau memahami sesuatu
atau merasakan sesuatu
menjadi orang pada posisi itu juga tidak sepenuhnya salah
tidak apa, manusia memang diberikan batasan
mungkin saja, memang karena kita belum mampu memikul tanggungjawab atas kondisi itu
Allah buat kita gatau, agar kita ga perlu mempertanggungjawabkan apa apa yang seharusnya kita lakukan ketika menjadi orang yang sudah mengetahui, sudah memahami, sudah merasakan.
tidak perlu iri bukan? justru hidup lebih sederhana, dan ringan dijalani :)
aku tidak tahu, bukan tidak mau tahu
sungguh aku mau terlibat dan menjadi bagian dari orang orang yang mengetahui, merasakan, pun mengerti. bukankah dengan itu kita bisa memberi manfaat yang lebih luas?
Allah bilang, apakah sama antara org yang mengetahui dan tidak mengetahui ?
aku sedih, karena aku bukan jadi bagian yang tau.
tapi apakah aku bisa meminta keadaan berbalik? pasti ada maknanya dari semua ini.
gaboleh berprasangka buruk
Minggu, 27 Oktober 2019
Selasa, 08 Oktober 2019
ordinary boy (2)
(1)
Waktu itu, aku beradu dengan waktu. Menaiki ojek online hanya untuk mengalahkan waktu, agar dapat sesegera mungkin hadir disana, melihatmu. Ditengah perjalanan kau tahu apa ? selintas kuberpikir, mungkin ini memang jalan Allah, menjadikanku tidak hadir disana karena mungkin saja aku tidak sekuat dan sesiap jika aku hadir disana.
tapi, aku sampai juga. sudah kusiapkan kata-kata dan tindakan yang akan kulakukan, sembari berdoa semoga kau belum keluar dari ruang Auditorium, agar setidaknya aku bisa menyambutmu dengan suka cita. Salah lagi, Allah tidak Ridho pada rencanaku itu.
Macet, waktu terus berjalan. pasti tidak akan sempat. Oh, ternyata dirimu sudah disambut rekan-rekan lainnya, terkirim fotomu disana. Seperti melewatkan moment penting yang kutunggu, bagaimana menurutmu rasanya ? Ah ya, barangkali memang aku tak sekuat itu untuk bertemu tanda kepergian.
Memasuki keramaian, bismillah. Melakukan tugas kurir, belum selesai mondar-mandir. Mencari celah sana sini, antar barang dan koordinasi sana sini, lalu tak sengaja menangkap matamu, disana. diantara kerumunan banyak orang, aku menangkap matamu. mata yang tercekat, sama tercekatnya denganku.
entahlah, saat itu yang kurasa, kita saling menemukan dan memanggil lewat mata.
"eh.. suc"
"eh.. kak.. , sebentar kak mau anter ini dulu"
"..." (belum bertingkah apapun, dan tidak jadi bertingkah)
informasi ini berloncat loncat pada neuronku, cepat sekali dan aku bingung harus bagaimana. apakah tadi benar dirimu ? cepat sekali kita bertemu. dan yang kulihat, dirimu melihatku, eh (?) dan lalu, mengapa pula sih aku seakan menjanjikan sesuatu, mengatakan sebentar dulu, seakan meminta dia menunggu. Dan lagi, yang kulihat bukan hanya dirimu. atau memang itu sebenarnya alasan dirimu tercekat ? didepanmu ada orang lain, berkerudung, melihat dirimu. Hm, apakah bisa perih ini kudefinisikan cemburu ? ahah, tidak pantaslah cemburu. Jadi, yaa.. yang kemarin itu cara Allah memperkenalkan 'dia' mu padaku :)
(2)
ya, pada akhirnya kita bertemu, dengan perasaan hati yang senetral mungkin. bahkan ada foto yang terekam. tapi sungguh aku tidak ingin menangis saat itu, berucap saja aku tak bisa. dan kau pergi, aku tidak bisa menahan lebih lama, aku tidak tahu juga harus mengungkapkan apa. Tapi bersyukurlah banyak-banyak, karena saat itu kamu tidak melakukan hal-hal gila yang akan kau sesali dikemudian hari.. HHH
(3)
Pada akhirnya, moment wisuda itu tidak seperti yang aku bayangkan dan aku siapkan. mungkin juga moment perpisahan nanti, barangkali tidak sesakit itu melepas sesuatu, apalagi yang memang sebenarnya tidak pernah kita miliki.
Waktu itu, aku beradu dengan waktu. Menaiki ojek online hanya untuk mengalahkan waktu, agar dapat sesegera mungkin hadir disana, melihatmu. Ditengah perjalanan kau tahu apa ? selintas kuberpikir, mungkin ini memang jalan Allah, menjadikanku tidak hadir disana karena mungkin saja aku tidak sekuat dan sesiap jika aku hadir disana.
tapi, aku sampai juga. sudah kusiapkan kata-kata dan tindakan yang akan kulakukan, sembari berdoa semoga kau belum keluar dari ruang Auditorium, agar setidaknya aku bisa menyambutmu dengan suka cita. Salah lagi, Allah tidak Ridho pada rencanaku itu.
Macet, waktu terus berjalan. pasti tidak akan sempat. Oh, ternyata dirimu sudah disambut rekan-rekan lainnya, terkirim fotomu disana. Seperti melewatkan moment penting yang kutunggu, bagaimana menurutmu rasanya ? Ah ya, barangkali memang aku tak sekuat itu untuk bertemu tanda kepergian.
Memasuki keramaian, bismillah. Melakukan tugas kurir, belum selesai mondar-mandir. Mencari celah sana sini, antar barang dan koordinasi sana sini, lalu tak sengaja menangkap matamu, disana. diantara kerumunan banyak orang, aku menangkap matamu. mata yang tercekat, sama tercekatnya denganku.
entahlah, saat itu yang kurasa, kita saling menemukan dan memanggil lewat mata.
"eh.. suc"
"eh.. kak.. , sebentar kak mau anter ini dulu"
"..." (belum bertingkah apapun, dan tidak jadi bertingkah)
informasi ini berloncat loncat pada neuronku, cepat sekali dan aku bingung harus bagaimana. apakah tadi benar dirimu ? cepat sekali kita bertemu. dan yang kulihat, dirimu melihatku, eh (?) dan lalu, mengapa pula sih aku seakan menjanjikan sesuatu, mengatakan sebentar dulu, seakan meminta dia menunggu. Dan lagi, yang kulihat bukan hanya dirimu. atau memang itu sebenarnya alasan dirimu tercekat ? didepanmu ada orang lain, berkerudung, melihat dirimu. Hm, apakah bisa perih ini kudefinisikan cemburu ? ahah, tidak pantaslah cemburu. Jadi, yaa.. yang kemarin itu cara Allah memperkenalkan 'dia' mu padaku :)
(2)
ya, pada akhirnya kita bertemu, dengan perasaan hati yang senetral mungkin. bahkan ada foto yang terekam. tapi sungguh aku tidak ingin menangis saat itu, berucap saja aku tak bisa. dan kau pergi, aku tidak bisa menahan lebih lama, aku tidak tahu juga harus mengungkapkan apa. Tapi bersyukurlah banyak-banyak, karena saat itu kamu tidak melakukan hal-hal gila yang akan kau sesali dikemudian hari.. HHH
(3)
Pada akhirnya, moment wisuda itu tidak seperti yang aku bayangkan dan aku siapkan. mungkin juga moment perpisahan nanti, barangkali tidak sesakit itu melepas sesuatu, apalagi yang memang sebenarnya tidak pernah kita miliki.
ordinary boy (1)
Aku selalu ingat wajah itu, kalau belum dituangkan akan selalu terbersit. jadi aku tuangkan saja biar tidak berseliweran dalam pikiran dan mengganggu fokusku.
Ordinary Boy-
tidak ada yang spesial darinya, dari awal pertemuan hingga kini, atau mungkin entah nanti.
tidak ada yang istimewa darinya, dari pertama dia berucap dan menyapa, dari setiap perbincangan yang bermuara pada perasaan tenang dan lega, sungguh tidak ada yang spesial.
tidak ada yang spesial pada setiap episode dalam buku-buku bulan ku selama ini, bahkan posisinya hanya mengisi kekosongan, melengkapi seperti pasir pada gelas kaca. tidak terlihat, tapi mengisi.
sungguh aku tidak menganggapnya spesial, tapi jelas aku mengharapkan dia menjadikanku spesial, seperti apa-apa yang kudefinisikan selama ini dari tingkah lakunya padaku.
disonansi,memang. pertentangan dalam diri sendiri.
jelas, aku hanya menutupi kenyataan bahwa aku menjadikannya spesial, hanya untuk meredam rasa. menjadikannya kecil sekecil-kecilnya, sembari menyiramnya dengan subur, payah memang.
seperti menanam bibit kangkung diatas kapas, disimpan diatas genting. sudah tahu kemungkinan bertahannya akan sangat kecil, tapi tetap saja kamu paksakan. setidaknya pertambahan tingginya saja membuatmu sungguh bahagia kan ? tapi suatu saat nanti kau pun tahu, dia akan selesai.
aku tidak percaya ada yang menganggapku spesial, meskipun aku ingin ada yang menganggapku begitu.
tapi, terimakasih ordinary boy, kau membuatku memiliki perjalanan rasa yang luar biasa!
Ordinary Boy-
tidak ada yang spesial darinya, dari awal pertemuan hingga kini, atau mungkin entah nanti.
tidak ada yang istimewa darinya, dari pertama dia berucap dan menyapa, dari setiap perbincangan yang bermuara pada perasaan tenang dan lega, sungguh tidak ada yang spesial.
tidak ada yang spesial pada setiap episode dalam buku-buku bulan ku selama ini, bahkan posisinya hanya mengisi kekosongan, melengkapi seperti pasir pada gelas kaca. tidak terlihat, tapi mengisi.
sungguh aku tidak menganggapnya spesial, tapi jelas aku mengharapkan dia menjadikanku spesial, seperti apa-apa yang kudefinisikan selama ini dari tingkah lakunya padaku.
disonansi,memang. pertentangan dalam diri sendiri.
jelas, aku hanya menutupi kenyataan bahwa aku menjadikannya spesial, hanya untuk meredam rasa. menjadikannya kecil sekecil-kecilnya, sembari menyiramnya dengan subur, payah memang.
seperti menanam bibit kangkung diatas kapas, disimpan diatas genting. sudah tahu kemungkinan bertahannya akan sangat kecil, tapi tetap saja kamu paksakan. setidaknya pertambahan tingginya saja membuatmu sungguh bahagia kan ? tapi suatu saat nanti kau pun tahu, dia akan selesai.
aku tidak percaya ada yang menganggapku spesial, meskipun aku ingin ada yang menganggapku begitu.
tapi, terimakasih ordinary boy, kau membuatku memiliki perjalanan rasa yang luar biasa!
Langganan:
Postingan (Atom)